BUKAN SEORANG
KIAI
Sesi 1
Arti
kehidupan memang panjang,
namun
tak sepanjang jalan menuju kekal,
tersimak
luka dalam benak
terselip
duka dalam tawa
terpampang
kebahagiaan tak terarah
suatu pengabdian bukan sebatas isyarat
perjuangan perang pelawan musuh
yang tak lain adalah ego dan ketidakberdayaan
bukan menang jika tak terbidik panah
bukan kalah jika tak berkuasa
sejatinya hidup juang meraih impian.
Hening bersemayam dalam
fikiran Hisyam, sosok anak muda yang masih polos, lugu dan tak banyak bicara, kebiasannya
yang menyendiri dan suka mengalah. Meskipun baru semiggu ia berada di Pesantren
Bani Sholeh Jombang, namun hampir seluruh asrama mengenal sosoknya. Sosok
pendiam namun ramah. Bagaikan Gong, takkan bunyi bila tak ditabuh. Namun senyum
ramahnya itulah yang membuat semakin akrab.
“kam jangan diam
terus bah, kam bisa cerita keluarga kam yang jauh, di mana
itu... (sambil memejamkan mata dan menunjuk salah satu tempat)
“Di Amuntai pang,
kalsel. Disana itu amun mau kemana-mana uyuh, ke kota jha
menghabiskan 4 jam. kalau kam pang udah nyaman di kota.”
“ya am itu
maksudku te (tak henti menggaruk kepala) ya sudah ayo ke Masjid. Sudah
waktunya sholat, jangan sampai nanti nama kita diumumkan oleh pengurus dan kena
sanksi”
Perjalanan mereka ke masjid
tak menghilangkan keheningan yang masih lenggang bersemayam dalam diri Hisyam.
Selesai berjamaah para santri membaca dzikir dan Sholawat, dilanjutkan dengan
pengajian yang dipimpin oleh Gus Nizar, salah satu menantu Romoyai Alwi. Tak
banyak dari mereka yang meninggalkan Masjid setelah kegiatan rutin itu selesai.
Ada yang i’tikaf, membaca Al-Quran, membaca munjiyat. Begitu pula dengan Hisyam
dan Ro’uf keduanya sibuk berdoa. dan betapa terkejutnya Ro’uf ketika bola
matanya menatap sebuah cincin yang melingkar di salah satu jari Hisyam. Seketika
tangan Hisyam ditarik dan cincin itu ditutup dengan genggaman tangannya.
“kam masih waras
kah?” tapi kenapalah kam pasang nih cincin dijari, kam tau
apa hukumannya? dan kam juga tau mah kalau kita kaum rijal kada
bolehlah menggunakan cincin, aku kada bisa membayangkan jikalau
nanti kam dikarak melewati gerbang putri. Aduh Hisyam-Hisyam” (sambil
menggaruk-garuk kepala)
“bukannya aku handak
menentang peraturan, aku bingung ini cincin pemberian uma’ ku,
kam tau pang ini cincin apa?
“cincin perempuan
bah (spontan)
“ini cincin pernikahan uma’ku,
dia memberikan kepadaku pakai bekal hidupku di sini, aku kada’ tau
harus menyimpannya dimana, kam tau sendiri almari kita belum ada
kuncinya, aku lebih tak bisa membayangkannya amun hilang. aku
tak akan menjualnya. aku tetap akan menyimpannya”
“kaya apa
[gimana] kalau kita pendam cincin ni?, pasti aman!”
“jangan. aku tak
akan memaafkan diriku ini amun hilang”
“ya sudah kita titipkan
ja’ ke Mak Ju, sekarang kita cari aman ja’ dulu, langkah selanjutnya
kita fikirkan lagi”
Langkah keduanyapun
diketahui dengan jatunya cincin di disebalah kaki Fiki, fiki sontak terkejut
dan mengambilnya, tanpa bertanya dia manuduh mereka mau menemui seorang gadis
“sini cincinnya, kalau
tak tau tak usah menuduh” sahut Ro’uf
“jangan-jangan kalian
mau memberikan cincinya pada cucunya Mak Ju ya?” (sambil tertawa lepas)
Hisyam langsung menarik
tangan Ro’uf dan meninggalkan Fiki.
“tujuan kita nih
bukan berdebat dengan Fiki, tapi mengamankan cincin ini”
“taulah aku,
tapi itu anak harus dikasih tindakan. amun menyebar gimana?”
Kedua pandangan itu
sontak diam, dan melanjutkan perjalanan
***
Langit biru yang masih
terjaga, dalam pesonanya. Suasana pesantren yang juga masih terjaga dengan
kebersihan dan lukisannya. Namun berbeda dengan perasaan Hisyam, Jiwanya memang
terjaga di kursi baris kedua dari depan. Namun peraannya bimbang, pertanyaam
Ustadz Hudi memang mudah, namun jawabannya butuh keberanian dan kekuatan
menjawab bagi Hisyam.
“Fatah, apa tujuanmu ke
mari” sahut Ustdz Hudi yang berdiri di samping tempat duduk Hisyam.
“saya ingin seperti
Ustdz yang tak henti dan tak bosan mengajarkan ilmu kepada kami”
“kalau seperti itu, kau
ikutlah bersamaku ke rumahku, biar lebih dekat denganku. Setuju?” semua santri
diam. Pandangannya berkeliaran dalam satu ruang.
“Hisyam, berikan
jawabanmu, apa tujuanmu kemari?”
Sontak “pak kiai”
(sambil menundukkan pandangan)
Seketika menjadi
berbincangan.
“benar, tujuanmu kemari
ingin menjadi seorang Kiai”
“barokah Ustadz”
“diam semua! Mencari
barokah Kiai?” seketika itu Ustadz Hudi duduk dan membuka pelajaran.
Setelah kelas selesai.
Ro’uf segera merapat ke kursi Hisyam.
“hebat lah kam
nih, jawaban dari semua santri bisa dijawab oleh Ustadz Hudi, eh jawaban
kam yang kurang meyakinkan membuat Ustadz Hudi diam. Dapat ilham dari
mana?”
“aku juga sama dengan kam,
kada yakin dengan jawabanku sendiri. entah seolah ada bisikkan jawaban
itu padaku”
Seketika senyum
mengembang dari bibir keduanya.
***
Suatu ketika, ditengah kerumunan
para santri yang sedang khusuk mendengarkan dan mencatat ceramah dari Romoyai
Alwi, pendengaran Hisyam bagai tersambar petir ketika mendengar dawuh sang yai
“bahwa pondok itu bukan mencetak seorang menjadi Kiai. Bukan mencetak seseorang
untuk berhak memasuki surga, namun Pesantren adalah tempat belajar ilmu agama
dan budi pekerti, tidak akan mungkin sebuah pohon akan tumbuh subur kalau tidak
ada akar yang kuat dahan serta dedaunan yang rindang. Itulah umpama manusia”
Seketika
itu Hisyam terdiam, perkataan pamannya selalu terngiang dalam ingatannya.
“maafkan aku paman, bukan tanpa sebab aku meminta maaf, bukan pula aku lemah,
namun bukan arahku dan bukan kemampuanku untuk mewujudkannya, bagaimanapun dedaunan
takkan pernah bisa menjadi bunga hias yang mampu menghiasi rumah, layaknya seorang
kiai yang mampu memberi kebajikan untuk hati”
Langkah
kakinyapun menjadi lusuh, jiwanya layu.
Impian memang sebuah
harapan, sedang harapan adalah penerang untuk langkah kaki yang tak pasti,
semua itu akan sia-sia jika tak ada tekad yang gigih. Hati Hisyam seolah masih
memerlukan penerang. kini penerang itu menjadi pekat dalam pikirannya,
impiannya untuk mewujudkan harapan pamannya seolah sirna, dan kenyataan yang
harus ia tanggung untuk menjawab isyarat kehidupan.
“kam tau kawal, ketika pandangan ini melihat burung yang
sorangan, terpuruk. Bukan karena ia kada’ sanggup menikmati hidup. Tapi karena dia kada’ tau bagaimana
sebenarnya mewujudkan hidup itu menjadi indah, sama ini kaya’ ikam”
Hisyam hanya
penampakkan Pandangan yang kosong dan penuh pertanyaaan kepada Ro’uf
***
Di ruang kelas, Hisyam
tak pernah menghabiskan waktu selain membaca pelajaran. Karena menurutnya waktu
tidak berpurat ke belakang, ia akan menyekik kita jika tak digunakan dengan
kerja keras. Hisyam memang sudah terlatih sejak kecil untuk mandiri, selama di
rumahnya ialah yang menjadi punggung keluarga, karena baginya tak mungkin hanya
mengharap uang hasil nelayan dari ayahnya yang kadang tak pulang beberapa hari.
Ibunya yang kadang selalu merasa sakit di kepalanya, kembarannya yang tak
sempurna di kakinya.
Sungguh berat bagi
Hisyam meninggalkan mereka, namun takdir tak bisa dikendalikan. Harapan dengan
kenyataan telah berlawanan. Tak mudah mengatakan kemauan yang disertai dengan
kenyataan pahit.namun itulah yang terjadi, pamannya telah menyuruhnya untuk
belajar. begitu pula ayah dan kembarannya. Kemauannya yang gigih menghantarkan
ia pada impian masa kecilnya yaitu Ustadz.
“kang Hisyam”
“Faisol, janganlah
memanggil kang, saya kira kau siapa?”
“tak papa atuh kang,
boleh minta bantuan kang?”
“kau ini kayak siapa
saja Faisol, ada apa?”
“bagini, bisa kau bantu
jelaskan pelajaran Ustdz Hudi, saya benar-benar kesulitan, Ustdz Hudi terlalu
cepat jika menjelaskan”
“kau terlalu
berlebihan, saya juga kurang memahami, kita diskusi bersama saja”
“boleh atuh, kapan
kang?”
“nanti malam insyaallah,
di teras Mushollah,?”
“boleh, saya tunggu
nanti malam”
Awal mula diskusi itu
diikuti dua orang namun semakin lama, teman kelasnya memberikan kepercayaan
kepada Hisyam untuk memimpin diskusi. Hal ini tak membuat Hisyam menjadi besar
kepala.
Bersih
tak akan sirna
Takkan
terpupus oleh masa
Takkan
pernah mencerca
Dan
tak pernah berdusta
Ia memberi
bukan tanpa arti
memberi
untuk kesejatian yang hakiki
***
Angin malam yang sangat
lebat menghantarkan lamunan Hisyam menepi keperaduan keluarga. Setiap musim
angin seperti ini, keluraganya hanya mengandalkan pendapatan yang biasa
dilakukan oleh Hisyam dan saudara kembarannya yakni menjajakan kerajinan
anyaman mengelilingi desa satu ke desa yang lain. Karena gelombang laut yang
tidak pasti membuat ayahnya mengurungkn untuk nelayan. Kadang juga sang ayah
tidak pulang hingga beberapa hari terjebak dalam gelombang laut.
“bagaimana bisa diriku
mampu menikmati derasnya angin malam, sedang orang yang aku kasihi nan jauh
disana, sedang memikirkan salah seorang keluarganya yang sedang terancam.
Bagaimana mungkin jiwa ini bisa diam, sedang mereka berkecamuk mencari
kebutuhan demi kehidupan. Bukan tak pasti jiwa ini kemari, bukan tanpa sengaja
langkah ini meninggalkan mereka. Ya Rob, Penjagaan-Mu lebih Aman. Sedang perasaanku
membuat terancam menjadi kufur. Ya rob, Pemberian-Mu lebih luas. Sedang pintaku
tak mampu mempeluas Do’aku untuk kelurgaku, Ya Rob, Takdirmu lebih Indah, namun
hati ini gelisah karena lemah”
Hari
semakin larut, namun tak membuat kerinduan dan ketidakberdayaan Hisyam kepada
keluarganya larut dalam kegelapan malam. Semua teman kamarnya sedang
bertamasyia dalammimpinya. Namun matanya tak bisa terejam. Rasa kantuk seolah
sirna, Hingga dia memutuskan untuk menuliskan kerinduan di lembaran kertas.
Assalamualaikum.
Untuk Uma’, Ayah dan
Hasyim yang selalu ulun rindu dan ulun harap do’a.
Kaya apa keaadan sida’ pian?
Semoga selalu sehat dan terlimpah ruah
rizki yang berkah.
Semoga urusan dan segala kesusahan teratasi
tanpa masalah yang berarti.
Semoga penyakit dan segala kegundahan
terangkat cepat.
Dan semoga kerinduan ini kawa’
terobati dengan kehadiran sida’ pian dalam setiap malam ulun.
Kabar ulun baik mah. Semua
kawal di sini nih jua’ menyenangkan. Do’akan semoga impian
dan harapan sida’ pian, terutama paman terkabul, amun kada menjadi
kiai, karena diri ulun nih hanyalah santri yang penuh harap dari sang
Ilahi.
Wassalamu’alaikum.
***
Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat, menyisakan berbagai kenangan dan mengumbangkan
harapan baru. sudah setahun Hisyam berada di dalam Pesantren. Harapan menjadi
manusia yang lebih berguna seperti dalam pepatah ‘Hari ini harus lebih baik
dari hari kemarin’. Kata-kata inilah yang selalu menginspirasi pribadi Hisyam.
Sore
itu kabar duka menyelimuti jiwa Hisyam. Hatinyapun menjadi buram, Pandangannya
memudar, Jiwanya bimbang. Langkahnya suram, Sang paman yang membiayayi mondok telah pergi
untuk selamanya. Kabar duka ia terima ketika keluarganya mengirimkan surat
kepadanya.
Hari-hari
ia lewati bersama gentingnya jiwa yang memberontak. Dua sisi yang semakin
menyudutkan pikirannya, antara kembali pulang ke kampung halaman, ataukah
meneruskan hingga mendapatkan apa yang diharapkan keluarga dan pamannya. Langkahnya
semakin kaku, bayangan hidup seorang diri harus ia jalani ditengah peraduan
nasib yang semakin menghimpit. Di tengah gersangnya lembah yang seolah menerka
setiap kerinduannya. namun Hal ini tak membuat jiwanya mundur untuk kembali
dengan tangan hampa. Apalagi meminta belas kasih dari seluruh temannya.
“Hisyam,
mengapalah kam selalu ja’ memaksa untuk mengasah begawi’
[bekerja]. Sudahlah, aku nih kawal kam. Jangan pang memaksaku
untuk mempekerjakan kam. Aku bukan tuan!”
“permasalahannya
bukan antara tuan dan pesuruhnya, kam kada’ perlu menganggapku
pesuruh. kam sudah membantuku. malah apa yang bisa aku berikan untuk kam?”
“kam
benar, aku begitu malu dengan diriku, yang hanya meminta dari orang tua, namun
kam sanggup membuat peluang kerja untuk hidup mandiri”
“di
sini bukan tempat untuk mencari pekerjaan, mencuci baju sebagian dari mereka
bukan merupakan pekerjaan. Namun aku berikhtiyar ini akan memudahkan langkahku
ke depan, kam kada’ tau kehidupanku kelak, dan aku ja’ kada’
tau kehidupan kam kelak. Maka izikan aku membantu kam. Biarlah
keaadanku susah sungguh, namun ini kada’ menjadi beban. Inilah kenangan
yang akan aku pahat dalam ingatanku kelak”
“jangan
membuat aku cengeng bah kawal. Kalau kaya’ gitu, bukankah pahala itu
harus kita bagi. Aku kada’ ridho amun bagian kam lebih besar
dariku, setidaknya kita sama atau kada’ aku lebih banyak dari kam”
Suasanapun
kembali tenang.
Selain
pekerjaan mencuci, Hisyam tak segan dan tak merasa malu berkumpul bersama
teman-temannya sekedar berdiskusi yang memang terkadang ada beberapa pertanyaan
yang tak layak mereka ungkapkan. Namun hal ini selalu diiringi dengan jawaban
positif oleh Hisyam. Hingga suatu ketika dipanggilah Hisyam ke hadapan sang
kiai. Rasa takut, sungkan dan malu membuatnya semakin gugup. Sang kiai yag
dengan tenang, penuh kharisma dan ketwadhu’an itupun menyuruh Hisyam membantu
di dapur Pesantren. Lama-kelamaan Hisyam pun sering dipanggil sang kiai, sekedar
memijat beliau, mendengarkan dawuh beliau, atau menyuguhkan hidangan jika ada
tamu yang suwan ke ndalem beliau.
Suatu
ketika Hisyam bertemu dengan seorang yang ia tak kenal, menggunakan pakaian
layaknya sang Ustdz yang langkahnya seolah ingin suwan ke ndalem.
“maaf Ustzdz, sang kia masih pengajian di luar,
silangkan jika mau menunggu”
“bukan tujuan saya
bertemu dengan sang kiai, saya ingin memberikan sesuatu khabar yang membuatmu
mengerti”
Hisyam bingung dengan
perkataan orang asing itu
“kau ingin tau apa
rahasia yang tersembunyi dibalik rahasia yang pernah engkau ungkapkan tanpa
sengaja dan itu menjadikan semakin mengenal siapa dirimu sebenarnya”
Hisyam terdiam dan
memutar ingatannya
“bukankah dirimu pernah
mengungkapkan ingin mendapatkan barokah sang kiai, ya inilah sekarang!”
Hisyam pun terjungkal
dari tidurnya. Dan merenungkan apa yang dikatakan oleh orang asing tersebut.
jawaban itupun baru
Hisyam sadari dan benar-benar ia fahami, dalam kurun waktu 3 tahun setelah 5
tahun berada di pesantren, ketika kampung
halaman menerimanya sebagai mujahid, ketika anak-anak bangsa membacakan
lantunan al-qur’an dalam serambi-serambi yang ia bangun. Ketika para jamaah
sudah berbondong-bondong dalam rutinitas yang mulia. Dan ketika bait-bait
tersemarakkan oleh mereka yang mengharap berkah dan syafaat baginda.
Inilah sebuah
keberkahan yang menjadikan barokah.
***
Untukmu yang disana, cerita
ini aku rangkai dari seseorang yang sangat mengagumimu semenjak di pesantren,
seorang sahabat namun tak dekat. Seorang pengagum namun tak bergabung.
Salam Mujahid dariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar