Minggu, 04 November 2018

BUKAN SEORANG KIAI


BUKAN SEORANG KIAI
Sesi 1
Arti kehidupan memang panjang,
namun tak sepanjang jalan menuju kekal,
tersimak luka dalam benak
terselip duka dalam tawa
terpampang kebahagiaan tak terarah
suatu pengabdian bukan sebatas isyarat
perjuangan perang pelawan musuh
yang tak lain adalah ego dan ketidakberdayaan
bukan menang jika tak terbidik panah
bukan kalah jika tak berkuasa
sejatinya hidup juang meraih impian.

Hening bersemayam dalam fikiran Hisyam, sosok anak muda yang masih polos, lugu dan tak banyak bicara, kebiasannya yang menyendiri dan suka mengalah. Meskipun baru semiggu ia berada di Pesantren Bani Sholeh Jombang, namun hampir seluruh asrama mengenal sosoknya. Sosok pendiam namun ramah. Bagaikan Gong, takkan bunyi bila tak ditabuh. Namun senyum ramahnya itulah yang membuat semakin akrab.
kam jangan diam terus bah, kam bisa cerita keluarga kam yang jauh, di mana itu... (sambil memejamkan mata dan menunjuk salah satu tempat)
“Di Amuntai pang, kalsel. Disana itu amun mau kemana-mana uyuh, ke kota jha menghabiskan 4 jam. kalau kam pang udah nyaman di kota.”
“ya am itu maksudku te (tak henti menggaruk kepala) ya sudah ayo ke Masjid. Sudah waktunya sholat, jangan sampai nanti nama kita diumumkan oleh pengurus dan kena sanksi”
Perjalanan mereka ke masjid tak menghilangkan keheningan yang masih lenggang bersemayam dalam diri Hisyam. Selesai berjamaah para santri membaca dzikir dan Sholawat, dilanjutkan dengan pengajian yang dipimpin oleh Gus Nizar, salah satu menantu Romoyai Alwi. Tak banyak dari mereka yang meninggalkan Masjid setelah kegiatan rutin itu selesai. Ada yang i’tikaf, membaca Al-Quran, membaca munjiyat. Begitu pula dengan Hisyam dan Ro’uf keduanya sibuk berdoa. dan betapa terkejutnya Ro’uf ketika bola matanya menatap sebuah cincin yang melingkar di salah satu jari Hisyam. Seketika tangan Hisyam ditarik dan cincin itu ditutup dengan genggaman tangannya.
kam masih waras kah?” tapi kenapalah kam pasang nih cincin dijari, kam tau apa hukumannya? dan kam juga tau mah kalau kita kaum rijal kada bolehlah menggunakan cincin, aku kada bisa membayangkan jikalau nanti kam dikarak melewati gerbang putri. Aduh Hisyam-Hisyam” (sambil menggaruk-garuk kepala)
“bukannya aku handak menentang peraturan, aku bingung ini cincin pemberian uma’ ku, kam tau pang ini cincin apa?
“cincin perempuan bah (spontan)
“ini cincin pernikahan uma’ku, dia memberikan kepadaku pakai bekal hidupku di sini, aku kada’ tau harus menyimpannya dimana, kam tau sendiri almari kita belum ada kuncinya, aku lebih tak bisa membayangkannya amun hilang. aku tak akan menjualnya. aku tetap akan menyimpannya”
kaya apa [gimana] kalau kita pendam cincin ni?, pasti aman!”
“jangan. aku tak akan memaafkan diriku ini amun hilang”
“ya sudah kita titipkan ja’ ke Mak Ju, sekarang kita cari aman ja’ dulu, langkah selanjutnya kita fikirkan lagi”
Langkah keduanyapun diketahui dengan jatunya cincin di disebalah kaki Fiki, fiki sontak terkejut dan mengambilnya, tanpa bertanya dia manuduh mereka mau menemui seorang gadis
“sini cincinnya, kalau tak tau tak usah menuduh” sahut Ro’uf
“jangan-jangan kalian mau memberikan cincinya pada cucunya Mak Ju ya?” (sambil tertawa lepas)
Hisyam langsung menarik tangan Ro’uf dan meninggalkan Fiki.
“tujuan kita nih bukan berdebat dengan Fiki, tapi mengamankan cincin ini”
“taulah aku, tapi itu anak harus dikasih tindakan. amun menyebar gimana?”
Kedua pandangan itu sontak diam, dan melanjutkan perjalanan
***
Langit biru yang masih terjaga, dalam pesonanya. Suasana pesantren yang juga masih terjaga dengan kebersihan dan lukisannya. Namun berbeda dengan perasaan Hisyam, Jiwanya memang terjaga di kursi baris kedua dari depan. Namun peraannya bimbang, pertanyaam Ustadz Hudi memang mudah, namun jawabannya butuh keberanian dan kekuatan menjawab bagi Hisyam.
“Fatah, apa tujuanmu ke mari” sahut Ustdz Hudi yang berdiri di samping tempat duduk Hisyam.
“saya ingin seperti Ustdz yang tak henti dan tak bosan mengajarkan ilmu kepada kami”
“kalau seperti itu, kau ikutlah bersamaku ke rumahku, biar lebih dekat denganku. Setuju?” semua santri diam. Pandangannya berkeliaran dalam satu ruang.
“Hisyam, berikan jawabanmu, apa tujuanmu kemari?”
Sontak “pak kiai” (sambil menundukkan pandangan)
Seketika menjadi berbincangan.
“benar, tujuanmu kemari ingin menjadi seorang Kiai”
“barokah Ustadz”
“diam semua! Mencari barokah Kiai?” seketika itu Ustadz Hudi duduk dan membuka pelajaran.
Setelah kelas selesai. Ro’uf segera merapat ke kursi Hisyam.
“hebat lah kam nih, jawaban dari semua santri bisa dijawab oleh Ustadz Hudi, eh jawaban kam yang kurang meyakinkan membuat Ustadz Hudi diam. Dapat ilham dari mana?”
“aku juga sama dengan kam, kada yakin dengan jawabanku sendiri. entah seolah ada bisikkan jawaban itu padaku”
Seketika senyum mengembang dari bibir keduanya.
***
Suatu ketika, ditengah kerumunan para santri yang sedang khusuk mendengarkan dan mencatat ceramah dari Romoyai Alwi, pendengaran Hisyam bagai tersambar petir ketika mendengar dawuh sang yai “bahwa pondok itu bukan mencetak seorang menjadi Kiai. Bukan mencetak seseorang untuk berhak memasuki surga, namun Pesantren adalah tempat belajar ilmu agama dan budi pekerti, tidak akan mungkin sebuah pohon akan tumbuh subur kalau tidak ada akar yang kuat dahan serta dedaunan yang rindang. Itulah umpama manusia”
            Seketika itu Hisyam terdiam, perkataan pamannya selalu terngiang dalam ingatannya. “maafkan aku paman, bukan tanpa sebab aku meminta maaf, bukan pula aku lemah, namun bukan arahku dan bukan kemampuanku untuk mewujudkannya, bagaimanapun dedaunan takkan pernah bisa menjadi bunga hias yang mampu menghiasi rumah, layaknya seorang kiai yang mampu memberi kebajikan untuk hati”
            Langkah kakinyapun menjadi lusuh, jiwanya layu.
Impian memang sebuah harapan, sedang harapan adalah penerang untuk langkah kaki yang tak pasti, semua itu akan sia-sia jika tak ada tekad yang gigih. Hati Hisyam seolah masih memerlukan penerang. kini penerang itu menjadi pekat dalam pikirannya, impiannya untuk mewujudkan harapan pamannya seolah sirna, dan kenyataan yang harus ia tanggung untuk menjawab isyarat kehidupan.
“kam tau kawal, ketika pandangan ini melihat burung yang sorangan, terpuruk. Bukan karena ia kada’ sanggup menikmati hidup.  Tapi karena dia kada’ tau bagaimana sebenarnya mewujudkan hidup itu menjadi indah, sama ini kaya’ ikam
Hisyam hanya penampakkan Pandangan yang kosong dan penuh pertanyaaan kepada Ro’uf
***
Di ruang kelas, Hisyam tak pernah menghabiskan waktu selain membaca pelajaran. Karena menurutnya waktu tidak berpurat ke belakang, ia akan menyekik kita jika tak digunakan dengan kerja keras. Hisyam memang sudah terlatih sejak kecil untuk mandiri, selama di rumahnya ialah yang menjadi punggung keluarga, karena baginya tak mungkin hanya mengharap uang hasil nelayan dari ayahnya yang kadang tak pulang beberapa hari. Ibunya yang kadang selalu merasa sakit di kepalanya, kembarannya yang tak sempurna di kakinya.
Sungguh berat bagi Hisyam meninggalkan mereka, namun takdir tak bisa dikendalikan. Harapan dengan kenyataan telah berlawanan. Tak mudah mengatakan kemauan yang disertai dengan kenyataan pahit.namun itulah yang terjadi, pamannya telah menyuruhnya untuk belajar. begitu pula ayah dan kembarannya. Kemauannya yang gigih menghantarkan ia pada impian masa kecilnya yaitu Ustadz.
“kang Hisyam”
“Faisol, janganlah memanggil kang, saya kira kau siapa?”
“tak papa atuh kang, boleh minta bantuan kang?”
“kau ini kayak siapa saja Faisol, ada apa?”
“bagini, bisa kau bantu jelaskan pelajaran Ustdz Hudi, saya benar-benar kesulitan, Ustdz Hudi terlalu cepat jika menjelaskan”
“kau terlalu berlebihan, saya juga kurang memahami, kita diskusi bersama saja”
“boleh atuh, kapan kang?”
“nanti malam insyaallah, di teras Mushollah,?”
“boleh, saya tunggu nanti malam”
Awal mula diskusi itu diikuti dua orang namun semakin lama, teman kelasnya memberikan kepercayaan kepada Hisyam untuk memimpin diskusi. Hal ini tak membuat Hisyam menjadi besar kepala.
Bersih tak akan sirna
Takkan terpupus oleh masa
Takkan pernah mencerca
Dan tak pernah berdusta
Ia memberi
bukan tanpa arti
memberi
untuk kesejatian yang hakiki
***
Angin malam yang sangat lebat menghantarkan lamunan Hisyam menepi keperaduan keluarga. Setiap musim angin seperti ini, keluraganya hanya mengandalkan pendapatan yang biasa dilakukan oleh Hisyam dan saudara kembarannya yakni menjajakan kerajinan anyaman mengelilingi desa satu ke desa yang lain. Karena gelombang laut yang tidak pasti membuat ayahnya mengurungkn untuk nelayan. Kadang juga sang ayah tidak pulang hingga beberapa hari terjebak dalam gelombang laut.
“bagaimana bisa diriku mampu menikmati derasnya angin malam, sedang orang yang aku kasihi nan jauh disana, sedang memikirkan salah seorang keluarganya yang sedang terancam. Bagaimana mungkin jiwa ini bisa diam, sedang mereka berkecamuk mencari kebutuhan demi kehidupan. Bukan tak pasti jiwa ini kemari, bukan tanpa sengaja langkah ini meninggalkan mereka. Ya Rob, Penjagaan-Mu lebih Aman. Sedang perasaanku membuat terancam menjadi kufur. Ya rob, Pemberian-Mu lebih luas. Sedang pintaku tak mampu mempeluas Do’aku untuk kelurgaku, Ya Rob, Takdirmu lebih Indah, namun hati ini gelisah karena lemah”
            Hari semakin larut, namun tak membuat kerinduan dan ketidakberdayaan Hisyam kepada keluarganya larut dalam kegelapan malam. Semua teman kamarnya sedang bertamasyia dalammimpinya. Namun matanya tak bisa terejam. Rasa kantuk seolah sirna, Hingga dia memutuskan untuk menuliskan kerinduan di lembaran kertas.
Assalamualaikum.
Untuk Uma’, Ayah dan Hasyim yang selalu ulun rindu dan ulun harap do’a.
Kaya apa keaadan sida’ pian?
Semoga selalu sehat dan terlimpah ruah rizki yang berkah.
Semoga urusan dan segala kesusahan teratasi tanpa masalah yang berarti.
Semoga penyakit dan segala kegundahan terangkat cepat.
Dan semoga kerinduan ini kawa’ terobati dengan kehadiran sida’ pian dalam setiap malam ulun.
Kabar ulun baik mah. Semua kawal di sini nih jua’ menyenangkan. Do’akan semoga impian dan harapan sida’ pian, terutama paman terkabul, amun kada menjadi kiai, karena diri ulun nih hanyalah santri yang penuh harap dari sang Ilahi.
Wassalamu’alaikum.
***
            Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, menyisakan berbagai kenangan dan mengumbangkan harapan baru. sudah setahun Hisyam berada di dalam Pesantren. Harapan menjadi manusia yang lebih berguna seperti dalam pepatah ‘Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin’. Kata-kata inilah yang selalu menginspirasi pribadi Hisyam.
            Sore itu kabar duka menyelimuti jiwa Hisyam. Hatinyapun menjadi buram, Pandangannya memudar, Jiwanya bimbang. Langkahnya suram,  Sang paman yang membiayayi mondok telah pergi untuk selamanya. Kabar duka ia terima ketika keluarganya mengirimkan surat kepadanya.
            Hari-hari ia lewati bersama gentingnya jiwa yang memberontak. Dua sisi yang semakin menyudutkan pikirannya, antara kembali pulang ke kampung halaman, ataukah meneruskan hingga mendapatkan apa yang diharapkan keluarga dan pamannya. Langkahnya semakin kaku, bayangan hidup seorang diri harus ia jalani ditengah peraduan nasib yang semakin menghimpit. Di tengah gersangnya lembah yang seolah menerka setiap kerinduannya. namun Hal ini tak membuat jiwanya mundur untuk kembali dengan tangan hampa. Apalagi meminta belas kasih dari seluruh temannya.
            “Hisyam,  mengapalah kam selalu ja’  memaksa untuk mengasah begawi’ [bekerja]. Sudahlah, aku nih kawal kam. Jangan pang memaksaku untuk mempekerjakan kam. Aku bukan tuan!”
            “permasalahannya bukan antara tuan dan pesuruhnya, kam kada’ perlu menganggapku pesuruh. kam sudah membantuku. malah apa yang bisa aku berikan untuk kam?”
            kam benar, aku begitu malu dengan diriku, yang hanya meminta dari orang tua, namun kam sanggup membuat peluang kerja untuk hidup mandiri”
            “di sini bukan tempat untuk mencari pekerjaan, mencuci baju sebagian dari mereka bukan merupakan pekerjaan. Namun aku berikhtiyar ini akan memudahkan langkahku ke depan, kam kada’ tau kehidupanku kelak, dan aku ja’ kada’ tau kehidupan kam kelak. Maka izikan aku membantu kam. Biarlah keaadanku susah sungguh, namun ini kada’ menjadi beban. Inilah kenangan yang akan aku pahat dalam ingatanku kelak”
            “jangan membuat aku cengeng bah kawal. Kalau kaya’ gitu, bukankah pahala itu harus kita bagi. Aku kada’ ridho amun bagian kam lebih besar dariku, setidaknya kita sama atau kada’ aku lebih banyak dari kam
            Suasanapun kembali tenang.
            Selain pekerjaan mencuci, Hisyam tak segan dan tak merasa malu berkumpul bersama teman-temannya sekedar berdiskusi yang memang terkadang ada beberapa pertanyaan yang tak layak mereka ungkapkan. Namun hal ini selalu diiringi dengan jawaban positif oleh Hisyam. Hingga suatu ketika dipanggilah Hisyam ke hadapan sang kiai. Rasa takut, sungkan dan malu membuatnya semakin gugup. Sang kiai yag dengan tenang, penuh kharisma dan ketwadhu’an itupun menyuruh Hisyam membantu di dapur Pesantren. Lama-kelamaan Hisyam pun sering dipanggil sang kiai, sekedar memijat beliau, mendengarkan dawuh beliau, atau menyuguhkan hidangan jika ada tamu yang suwan ke ndalem beliau.
            Suatu ketika Hisyam bertemu dengan seorang yang ia tak kenal, menggunakan pakaian layaknya sang Ustdz yang langkahnya seolah ingin suwan ke ndalem.
“maaf Ustzdz, sang kia masih pengajian di luar, silangkan jika mau menunggu”
“bukan tujuan saya bertemu dengan sang kiai, saya ingin memberikan sesuatu khabar yang membuatmu mengerti”
Hisyam bingung dengan perkataan orang asing itu
“kau ingin tau apa rahasia yang tersembunyi dibalik rahasia yang pernah engkau ungkapkan tanpa sengaja dan itu menjadikan semakin mengenal siapa dirimu sebenarnya”
Hisyam terdiam dan memutar ingatannya
“bukankah dirimu pernah mengungkapkan ingin mendapatkan barokah sang kiai, ya inilah sekarang!”
Hisyam pun terjungkal dari tidurnya. Dan merenungkan apa yang dikatakan oleh orang asing tersebut.
jawaban itupun baru Hisyam sadari dan benar-benar ia fahami, dalam kurun waktu 3 tahun setelah 5 tahun  berada di pesantren, ketika kampung halaman menerimanya sebagai mujahid, ketika anak-anak bangsa membacakan lantunan al-qur’an dalam serambi-serambi yang ia bangun. Ketika para jamaah sudah berbondong-bondong dalam rutinitas yang mulia. Dan ketika bait-bait tersemarakkan oleh mereka yang mengharap berkah dan syafaat baginda.
Inilah sebuah keberkahan yang menjadikan barokah.
***
Untukmu yang disana, cerita ini aku rangkai dari seseorang yang sangat mengagumimu semenjak di pesantren, seorang sahabat namun tak dekat. Seorang pengagum namun tak bergabung.
Salam Mujahid dariku.
           

           
           
           
           
           
           
           













Tidak ada komentar:

Posting Komentar